[FANFIC] Decisions To Be Made – 8 / eight

Title                       : Decisions To Be Made

Author                  : chinatsun6896

Genre                   : Drama, Fluff, Slice of Life, Lemon, Romance

Pairing                  : Arata Mackenyu x Matsumoto Chihiro (OC/You) X Aiba Masaki

Fandom               : Arata Makenyu, Arashi

Disclaimer           : The OC written in this story belongs to the author. The story lined based of  some experiences, dreams, and some future hopes which is originally made by me. To make you more enjoy the story, kindly think that the OC is yourself if the pairing written above is fit for you.

Warning               : The story is written in Bahasa Indonesia.

Chapter                                : 8/eight

 

 

Enjoy the story . . . . .

 

 

“Tomo-chan,”

 

Aku menghentikan langkahku ketika mendengar suara yang begitu lembut dari seorang pria memanggil namaku. Perlahan, aku menolehkan kepalaku dan mendapati Makken berdiri di belakangku, menatapku lembut dan tersenyum manis padaku. Gaya rambutnya yang berbeda dari biasanya membuatku membutuhkan waktu beberapa saat untuk mengenali dirinya. Makken yang biasa terlihat rapi dengan tatanan rambut yang memperlihatkan keningnya kini menurunkan poninya hingga mengurai menutupi sedikit matanya.

 

Hangat…

 

“Kau lelah menunggu, ya…”ujarnya, kemudian mengulurkan tangannya padaku. “…..ayo pulang,”

 

Aku terdiam sesaat menatap tangannya yang mengulur padaku.

 

Hangat…

 

Hatiku yang semula terasa keras dan tajam kini terasa mencair ketika mendapati sosok Makken tengah berdiri di hadapanku. Kehangatan yang kudapat hanya dengan melihat sosoknya, kehangatan yang kurasakan hanya dengan mendengar suaranya…

 

Perlahan, kulangkahkan kakiku mendekati dirinya hingga jarak kami semakin mendekat. Tangan Makken tidak jatuh mengikuti gravitasi, ia terus mengulurkan tangannya hingga aku menyambut uluran tangannya tersebut. Semakin lama, kupercepat langkahku untuk mendekati dirinya, dan kuputuskan untuk berlari kecil agar aku dapat menggapai kehangatan yang telah ia bentangkan padaku.

 

 

Grep!!!

 

 

Aku  mendekap Makken begitu erat ketika aku telah sampai disisinya. Aku tidak peduli bahwa kami sedang berada di tengah jalan dan semua orang mengarahkan pandangan mereka kepada kami. Tangan Makken yang terulur pun pada akhirnya kuabaikan, karena aku lebih memilih tubuhnya yang hangat yang sudah kupastikan akan menerima diriku.

 

Aku merasakan tangan Makken yang terulur perlahan mulai mendekap punggungku. Ia mengelusnya beberapa saat, kemudian mulai memindahkan tangannya menuju kepalaku dan mengelusnya dengan lembut.

 

Aku tak dapat menahan luapan emosi yang kurasakan. Seluruh perasaan yang menyesakkan tubuhku akhirnya kutumpahkan dalam dekapan Makken.

 

Dua kali.

 

Ini kedua kalinya Makken melihatku menumpahkan air mataku. Ini kedua kalinya aku tak dapat menahan perasaanku dan melepaskan hal itu di hadapannya. Padahal di hadapan Jun sekalipun, aku bisa menahan seluruh emosi yang kurasakan, tapi entah kenapa aku selalu spontan menjadi cengeng di hadapan Makken.

 

Padahal selama ini aku berpikir bahwa aku telah hidup sebagai wanita besi. Seberapapun dilukai, disayat, bahkan dipotong, isinya tetap akan menjadi keras. Padahal aku selalu bisa bergerak maju setiap kali ada yang berusaha menyakitiku. Aku juga bukan tipe wanita yang mau mengambil pusing tentang perasaan. Aku lebih baik segera berbelok ke arah lain dan mencari kebahagiaan lain, daripada terus terkungkung dalam kesengsaraan. Aku tak pernah mengizinkan diriku untuk diam dan terkurung dalam perasaan, dan aku selalu mencari seseorang atau hal lain yang dapat membuatku senang. Paling buruknya, aku akan mengumpulkan teman-temanku dan membicarakan hal yang membuatku sakit hati. Bukan untuk menjelekkan orang tersebut, namun untuk melepaskan perasaan tidak enak yang mengganjal di hatiku.

 

Kalau dipikir-pikir, selama aku menyimpan perasaanku pada Aiba-san, aku juga tetap menjalankan peranku sebagai wanita besi dengan baik. Seberapapun ia mengatakan hal-hal yang tidak mengenakkan, seberapa egois dirinya, aku tetap akan memaafkannya dan terus memperhatikannya. Padahal semua orang sudah memperingatiku bahwa aku terlalu baik untuknya. Aku terlalu baik untuk seorang Aiba Masaki. Tapi aku tetap keras kepala. Aku tetap yakin pada diriku bahwa suatu saat ia akan menyatakan perasaannya padaku. Padahal bisa saja itu pertanda bahwa ia bukan yang terbaik untukku. Tapi pada akhirnya, aku tetap menjadi wanita besi di hadapannya.

 

Berbeda dengan Makken. Pertemuan yang terbilang singkat ini sudah sangat menguak sisi burukku di hadapannya. Tiga bulan pun belum berlalu, tapi aku telah dua kali menumpahkan air mata di hadapannya. Sedangkan Aiba-san, selama enam bulan aku dan dirinya saling mengenal, ia bahkan tidak pernah melihatku menangis. Bukan hanya itu, aku telah banyak mengatakan hal-hal egois, hal-hal yang kekanak-kanakkan, dan mungkin hal-hal yang bersifat sedikit memaksa pada Makken. Bagiku, itu bukan sikap yang biasa kutunjukkan pada orang yang baru kukenal kurang dari setahun.

 

Aku tidak pernah berpikir untuk bersikap centil dan sok lemah di hadapan Makken. Itu semua terjadi begitu saja. Aku merasa aku bisa menjadi diriku, aku bisa berbicara apa saja, aku bisa melakukan apa saja, aku bahkan bisa mendapatkan apa saja tanpa kuminta dari Makken.

 

Aku seperti mendapat tempat untuk berlabuh. Ia menyediakan tempat agar aku bisa berlabuh.

 

Ia adalah panas yang mencairkan besi dalam diriku. Ia adalah panas yang menghancurkan reputasiku sebagai wanita besi. Kehangatan konstan yang ia berikanlah yang membuatku dapat menjadi diriku sendiri, sejak pertama kali kami bertemu dalam mimpi.

 

“Tomo-chan… Maafkan aku,”aku mendengar suara Makken berbisik di telingaku. “Maaf…. Maaf…”

 

“Eh?!”

 

“….Seharusnya aku ikut datang menemanimu… Seharusnya aku nggak membiarkanmu datang seorang diri,”sahutnya kembali. Suaranya yang berbisik terdengar sedikit serak dan bergetar. “……seharusnya aku nggak membiarkanmu mengatakan hal itu kepada Aiba-san… Pasti sakit, ya… Maaf, Tomo-chan…”

 

“Eh?!”Aku tertegun sejenak mendengar perkataan Makken. “Apa maksudmu?!”

 

“Maaf…. Aku melihat semuanya…”Makken menjawab pertanyaanku setelah beberapa saat terdiam. “…..aku….sudah bersamamu semenjak kau datang dan menunggu Aiba-san,”

 

Aku melepas pelukan Makken dan menatapnya dengan tatapan terkejut. Aku tak mengeluarkan sepatah kata pun, tapi aku yakin Makken tahu benar aku meminta penjelasan darinya.

 

“…..aku….menyesali keputusanku untuk nggak ikut menemanimu ketika aku pulang dari rumahmu… aku berubah pikiran…”Makken memulai penjelasannya dengan suara yang begitu pelan. “….tapi….. aku nggak memiliki keberanian untuk menyatakan keputusanku yang telah berubah… bukan karena aku gengsi, tapi… aku nggak sanggup untuk ikut denganmu dan bertemu dengan Aiba-san…. Aku takut… Aku takut melihat wajahmu yang begitu lembut mencintai Aiba-san… Aku takut… Bahwa kau nggak membutuhkanku kembali ketika Aiba-san bersikap manis padamu… Aku juga takut…. Kalau kau menyatakan perasaanmu padanya…. Aku nggak sanggup mendengarnya…”

 

“Makken….”

 

“Walau dengan mengikutimu seperti ini aku tetap mendengar kau menyatakan perasaanmu padanya, mungkin pembicaraan lainnya nggak akan terjadi kalau dari awal aku ikut denganmu. Bahkan mungkin kau nggak jadi menyatakan perasaanmu padanya,”Makken menundukkan kepalanya seraya menjambak sedikit rambutnya. “…..ketika keputusan ini kubuat, dengan sedikit penyesalan dibaliknya, aku masih berusaha untuk berpikir positif… Aku harus melakukan ini! Karena kalau tidak, Tomo-chan tidak akan bisa menghadapi Aiba-san! … Aku terpaksa melakukan ini, karena aku juga memikirkan dirimu… Karena kupikir, kalau aku ikut denganmu, pasti banyak sekali pembicaraan yang seharusnya diutarakan tapi tidak bisa karena keberadaan diriku… Karena itu aku memutuskan untuk nggak ikut dan tetap berpikir bahwa keputusan pertamaku adalah hal yang tepat. Aku tahu kau memintaku untuk ikut karena kau juga tak memiliki keberanian untuk menghadapi Aiba-san sendirian… Tapi aku terlalu bodoh! Aku terlalu polos ketika mengambil keputusan tersebut… Aku nggak menyangka ini akan terjadi…”

 

Aku kembali terdiam mendengarkan penjelasan Makken. Aku tak menyangka kalau ternyata Makken memiliki pemikiran demikian. Kupikir keputusannya untuk tidak ikut denganku hanya sekedar pilihan biasa yang ia ambil. Aku tak menelaah lebih jauh bahwa keputusan yang ia ambil juga memiliki makna di dalamnya. Aku bahkan tidak memikirkan perasaan Makken.

 

Pada akhirnya, aku kembali bersikap egois…

 

“….Mungkin kalau aku ikut denganmu… Kalau aku nggak diam-diam mengikutimu dan ikut bersamamu dengan benar, ini semua nggak akan terjadi… Mungkin kita akan tetap bertemu dengan Narumi-san, tapi aku yakin Narumi-san nggak akan berbicara sampai sejauh itu… Mungkin kau juga akan tetap berbicang dengan Aiba-san dalam waktu yang lama, tapi aku yakin topik yang dibawa pasti nggak akan seperti itu… Pada akhirnya, mungkin kau akan tetap menyatakan perasaanmu, tapi aku yakin Aiba-san nggak akan mengatakan hal-hal yang kejam seperti itu…”sahutnya lagi. Aku dapat melihat kedua lengan Makken yang bergetar menahan emosi. Menahan penyesalan dan amarah yang tak bisa ia tumpahkan.

 

Aku terbelalak mendengar penjelasan Makken lebih lanjut. Ia benar-benar bersamaku sejak awal pertemuanku dengan Aiba-san! Ia bahkan menyebutkan nama Narumi-san dan menarik garis besar kesimpulan apa yang Narumi-san katakan padaku. Ia benar-benar menemaniku meski aku tidak mengetahuinya. Ia benar-benar tidak meninggalkan diriku. Ia tetap berada bersamaku dan melindungiku dari kejauhan. Lagi-lagi aku diberi kehangatan olehnya…

 

 

Grep!

 

 

“Makken….”aku kembali memeluk Makken. Berusaha menghentikan getaran yang terlihat pada tubuhnya. “….terima kasih….”

 

“Nggak… Aku salah, Tomo-chan…”

 

Aku menggeleng. “….kau nggak salah… aku yang terlalu mementingkan diriku sendiri… dan lagi-lagi, aku mendapat kehangatan darimu…”

 

“…..aku benar-benar kesal…. Aku benar-benar kesal melihat apa yang terjadi padamu hari ini…”ujar Makken. “….sudah seenaknya membawa kekasih, datang dan mengolok-olok, menolak perasaanmu, kemudian langsung berkata bahwa mereka akan melangsungkan pernikahan…. Dan lagi, ia menyuruhmu memberi sambutan pada upacara pernikahan mereka… Apa ia gila??!!! Apa ia nggak berpikir bahwa apa yang ia lakukan itu sungguh jahat!!? Bisa-bisanya ia mengatakan hal itu setelah menolak perasaanmu,”

 

Nada bicara Makken terdengar semakin tinggi. Ia juga bercerita bahwa beberapa kali ia hampir beranjak dari tempat duduknya dan berniat untuk menghabisi Aiba-san, tapi karena ia memikirkan diriku, ia kembali mengurungkan niatnya dan menguatkan diri untuk menguping pertemuan ini sampai akhir.

 

Namun yang membuatku terkejut, selang beberapa saat setelah aku keluar dari restoran tersebut, Makken mengaku bahwa ia menghampiri Aiba-san yang masih terduduk disana dan mengucapkan sedikit kalimat yang tak berarti.

 

 

“Gochishousamadeshita…”

 

 

Itu adalah kalimat yang Makken berikan pada Aiba-san. Terima kasih atas sajiannya. Kalimat yang mungkin terdengar tak berarti, tapi hanya dengan melihat keberadaan Makken saja, mungkin sudah membuat Aiba-san membatu ditempatnya.

 

 

Terima kasih atas sajiannya. Sajian berupa pembicaraan yang cukup memekakkan telinga.

 

 

“Brengsekkk!!!”umpat Makken, meluapkan emosi yang tak bisa ia bendung kembali. Aku sempat tertegun untuk beberapa saat. Ini pertama kalinya aku melihat Makken dalam keadaan emosi. Jujur, aku takut dan tak tahu harus berbuat apa untuk menghadapinya. “……seharusnya aku hajar saja tadi….”

 

“Sudah, Makken… Cukup…”ujarku seraya mengeratkan pelukanku dan mengusap punggungnya yang tegap. “….keputusanmu nggak salah… apa yang kau lakukan untukku sudah benar… bahkan hal-hal yang kau pikirkan dan dampak yang akan kurasa pun telah cukup memberiku pelajaran… dengan begini, keputusanku sudah bulat… Aku sudah bisa lihat sendiri bagaimana Aiba-san melihat diriku…”

 

“Tomo-chan…”

 

“Kurasa sudah saatnya untuk pindah,”ujarku seraya mengendurkan pelukanku, dan menatap Makken lekat-lekat. Kuulurkan tanganku dan kubelai pipi Makken perlahan. “……aku akan berhenti menyukai orang yang bahkan nggak menganggapku baik, dan berpaling kepada orang yang dapat membuatku menjadi diri sendiri…”

 

Makken membulatkan matanya, kemudian menggenggam tanganku yang membelai pipinya.

 

“Kau membuatku bisa menjadi diriku sendiri, Makken…”tambahku lagi. “Kau curang! Kita bahkan nggak sampai tiga bulan saling mengenal, tapi rasanya semua sifat burukku sudah terkuak olehmu… Permintaan egoisku, cara bicaraku yang sedikit memaksa, perubahan suasana hatiku yang sangat ekstrim… Kau benar-benar bisa mengatasi diriku… Aku saja masih belum lulus…. Aku jadi terlalu tergantung pada dirimu… Aku pasti selalu merepotkanmu, ya…”

 

“Tomo-chan….”gumam Makken dengan suara nyaris berbisik. “……aku nggak pernah merasa keberatan dengan semua itu…”

 

“Benarkah?!”tanyaku. “……apa mulai sekarang, aku boleh terus bergantung padamu?!”

 

“Tentu saja,”ujar Makken mantap.

 

“…..Apa mulai sekarang…. Kau juga akan terus berada di sisiku?!”

 

Makken sontak terdiam mendengar perkataanku. “….kau serius mengatakan hal itu?!”

 

Aku hanya mengangguk. Tiba-tiba saja, tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu, Makken segera memeluk erat diriku. Saking eratnya, sesaat aku hampir tersedak dibuatnya.

 

“Terima kasih…. Terima kasih….”suara Makken yang berbisik terdengar jelas ditelingaku. “…..bergantunglah padaku, Tomo-chan… Percayalah padaku… Aku akan selalu berada disisimu,”

 

“Janji, ya…”Aku membalas perkataan Makken, menuntut janji kesetiaannya.

 

Makken mengangguk. “……aku suka kamu, Tomo-chan,”

 

 

❀❀❀❀❀

 

 

“Aku pulang…”aku membuka alas kakiku dan menyerukan salam ketika baru saja sampai di rumah. Hening. Tak ada seorang pun yang menjawab salamku. Sepertinya Jun belum pulang.

 

Aku melangkahkan kakiku menuju lorong rumah, dan mengintip masuk ke ruang keluarga. Memang benar tidak ada siapa-siapa. Aku benar-benar seorang diri saat ini.

 

 

Blugh!

 

 

Aku menghempaskan diriku di sofa ruang keluarga, dan membenamkan wajahku pada sebuah bantal sofa yang cukup tebal. “Kyaaaa!!!!”

 

Aku meneriakkan seluruh luapan perasaan yang memenuhi dadaku. Aku memukul-mukul area tempat duduk sofa diatasku, berguling, hingga tak sadar aku telah jatuh dari sofa.

 

“Maaf mengganggu,”

 

 

Aku segera bangkit dari posisiku ketika mendengar suara Makken dari arah pintu masuk.

 

“Tomo-chan, ini ditaruh mana?!”tanya Makken seraya menunjukkan kantung belanja yang ia bawa. Matanya sedikit menatapku heran ketika ia melihatku terduduk di bawah sofa.”….kau kenapa?!”

 

“Ah, nggak apa-apa,”ujarku seraya tersenyum malu-malu. “Oh iya! Belanjaannya belum kutaruh!”

 

Aku segera beranjak dari posisi dudukku dan mengambil plastik belanjaan yang kutaruh asal sesaat sebelum aku menghempaskan diriku di sofa ruang keluarga.

 

Hari ini adalah hari yang sungguh aneh. Padahal, aku baru saja disakiti oleh seseorang yang selalu kuperhatikan sejak setengah tahun yang lalu. Tapi rasanya rasa sakit itu hilang begitu saja dengan kehangatan seseorang yang selalu berada disisiku. Seseorang yang baru kukenal tak lebih dari tiga bulan, seseorang yang kukenal dari rekan kerja Ayah, dan seseorang yang tanpa kusadari telah memberikan apa yang kumau tanpa kuminta.

 

Apa ini yang dinamakan, omou ni wakare, omowanu ni sou?

 

“Tak bisa bersama dengan orang yang disukai, tapi menikah dengan orang yang tak disangka-sangka.”

 

 

Eh?! Menikah?!

 

Tidak, tidak. Hubungan kami belum sampai sejauh itu.

 

Pada kenyataannya, anggap saja seperti “dapat bersama dengan orang yang tak disangka”. Ya, itu benar! Terlalu memaksa rasanya kalau sudah berpikir untuk menikah padahal jadian saja baru hari ini…

 

 

“Hei, Tomo-chan,”Makken tiba-tiba saja melepas keheningan. “…..benar tidak apa-apa?!”

 

“Apanya?!”

 

“Kau….. denganku….”ujar Makken terbata-bata.

 

Aku terdiam sesaat. “Kau merasa seperti pelampiasan, ya?!”

 

“Eh?! Bu,-bukan itu maksudku…”Makken segera menepis perkataanku ketika aku menanyakan hal yang sedikit vulgar untuknya. “……….hanya saja….”

 

“Sebenarnya aku sudah lelah,”aku memotong pembicaraan Makken sebelum ia melanjutkan kalimatnya. “……aku sudah lama ingin melupakan Aiba-san, bahkan dua bulan sebelum aku mengajukan pengunduran diri dari kantorku yang lama,”

 

“Kenapa?!”

 

“Aku hanya merasa ini semua salah… Aku nggak pernah memberanikan diri untuk membuat selangkah lebih maju untuk mendekati Aiba-san, dan terkadang aku merasa kehadiran Aiba-san itu menggangguku… Padahal aku menyukainya, tapi kenapa aku merasa terganggu?! Itu nggak benar, kan?!”jelasku. “….lalu, H-1 sebelum pesta penyambutan diriku di perusahaan, aku melihat mimpi….”

 

“Mimpi apa?!”

 

“Mimpi tentang seorang pria… Mimpi itu terlalu nyata, bahkan aku hampir nggak sadar kalau itu adalah mimpi,”jawabku. “…..di dalam mimpi itu, aku disuruh Papa untuk ikut dalam pertemuan, namun karena pertemuan bisnis ini sudah berada di tengah jalan, Papa hanya memintaku untuk ikut dan duduk di bangku terpisah dengan Papa… Mungkin ia berpikir kalau aku ikut di tengah jalan, aku nggak akan mengerti pembicaraan yang sedang berlangsung,”

 

Makken hanya diam mendengarkan ceritaku.

 

“…….pertemuan itu dilakukan di sebuah restoran yang suasananya seperti restoran keluarga… Seperti perintah Papa, aku duduk di bangku terpisah, menunggunya, dan memperhatikan siapa tamu yang datang… Kemudian aku melihatmu…”

 

“Eh?!”

 

“……aku melihat seseorang yang mirip sekali dengan dirimu… Cara duduknya, caranya memperhatikan orang yang sedang berbicara, caranya menautkan kedua alisnya ketika ia tak mengerti apa yang sedang di bahas… Bahkan di dalam mimpi itu pun, aku nggak bisa melepaskan pandangan darinya,”lanjutku lagi. “…..kemudian, Papa mengejutkanku dengan membawa orang itu datang kepadaku ketika aku sedang menyeruput jus jeruk yang kupesan… dan orang itu pun mengenalkan dirinya, namanya Arata….”

 

“Eh?!” Aku menatap wajah Makken dengan tatapan lurus. Aku tahu, ia pasti terkejut dengan apa yang kukatakan. Karena aku tak pernah memperdengarkan kisah ini padanya sedikit pun. Karena selama ini aku berpikir ia hanyalah pria yang muncul dalam mimpiku, dan mungkin akan muncul dalam kehidupanku. Kalaupun ia benar-benar muncul dalam kehidupanku, betapa besarnya perannya dalam hidupku adalah diluar prediksi dan kuasaku.

 

“…kemudian aku terbangun sebelum pria bernama Arata itu menyebutkan nama kecilnya. Dan tak lama setelah itu, aku bertemu denganmu…”ujarku. “…..aku benar-benar terkejut ketika pertama kali melihatmu… Sampai sekarang pun, kalau aku mengingat akan hal itu aku masih merinding… Kau datang dengan penampilan yang persis sama seperti di mimpiku… Caramu duduk, caramu memperhatikan orang ketika berbicara, bahkan ekspresimu ketika tidak memahami pembicaraan dalam bahasa Jepang… dan namamu….. Arata….”

 

Makken masih terdiam mendengar perkataanku. Matanya membulat terkejut. Seolah apa yang kukatakan membekukan seluruh raga dan saraf pada tubuhnya.

 

“….aku telah menemukanmu bahkan jauh sebelum kita bertemu…”sahutku pelan. “……kau bukan pelampiasanku…. Aku bahkan sudah memperhatikanmu sebelum aku teringat akan perasaanku pada Aiba-san… Aku hanya memilih….”

 

“Tomo-chan…”untuk kesekian kalinya pada hari ini, Makken memeluk diriku erat-erat. Ia membelai kepalaku, dan mendorongnya agar aku lebih dalam masuk ke dalam dekapannya. Aku menengadahkan kepalaku dan menaruh daguku di bahunya. Aroma Makken yang terasa segar dan lembut membuatku begitu nyaman berada dalam dekapannya. “…….aku…..serius denganmu… aku…. nggak berniat untuk main-main dengan hubungan ini….”

 

“Eh?!”aku terbelalak mendengar ucapan Makken. Tanpa sadar aku telah melepas pelukanku dan menatap matanya penuh tanya. “…..Makken…..apa nggak terlalu cepat?!”

 

“Nggak ada kata terlalu cepat untuk serius mencintai seseorang… Adanya penyesalan kalau kita terlalu menunda-nunda,”Makken menatapku dengan tatapan tegas. Tak kulihat sedikitpun kegoyahan dalam tatapan matanya ketika ia mengatakan hal itu.

 

“……Makken….. Ada hal yang perlu kau tahu,”sahutku. “…..aku bukan orang yang romantis… aku nggak bisa mengungkapkan kata-kata cinta dengan baik…. Aku mungkin akan berubah seiring dengan perjalanan hubungan ini… Mungkin aku terlihat santai, tapi sebenarnya aku sangat amatir dan terlalu polos untuk hubungan seperti ini…. Aku mungkin akan banyak menghindar, karena aku nggak terbiasa dengan situasi dan suasana sepasang kekasih… Kau yang dibesarkan di Amerika mungkin menganggap bahkan cium pipi itu adalah hal yang biasa, tapi untukku, berpelukan saja bukan hal yang bisa ditoleransi… Karena aku nggak hidup di lingkungan seperti itu… Aku mungkin akan lebih cerewet daripada saat ini, atau mungkin aku akan lebih diam dari saat ini… Aku mungkin akan cerewet karena aku terlalu peduli padamu, dan aku akan diam ketika semua tidak berjalan seperti yang kuinginkan… Aku mungkin akan melakukannya ketika aku tidak ingin berdebat denganmu… Ketika kita memiliki perselisihan, aku juga mungkin akan diam dan tidak membahasnya, karena kupikir berdebat dan berselisih paham bukan untuk mengenal satu sama lain lebih dalam, tapi memperburuk hubungan satu sama lain… Aku juga mungkin akan mempermasalahkan hal-hal yang menurutmu kecil, karena kita hidup dalam sudut pandang dan budaya yang berbeda… Aku mungkin juga nggak akan bisa mengatakan ”aku suka kamu”, karena menurutku itu memalukan… tapi aku akan memberimu kasih sayang sepenuhnya meski mungkin tak seluruhnya tersampaikan,”

 

Makken lagi-lagi memandangiku dalam diam.

 

“…..meski begitu, apa kau masih ingin menjalin hubungan serius denganku?!”tanyaku kembali, meyakinkan diri Makken sebelum ia menyesali keputusannya. Sebenarnya, ketika aku berkata demikian, aku hanya mempersiapkan diriku untuk jawaban yang positif. Aku sama sekali tidak berpikir apa yang harus kulakukan kalau jawaban Makken ternyata tidak sejalan dengan persiapan diriku.

 

“Iya,”

 

Aku tertegun mendengar Makken yang menjawab singkat seraya mengangguk mantap. Matanya terus menatapku serius. Tak ada kegoyahan, tak ada ketakutan, tak ada kebimbangan.

 

“……la,-lalu…..”ujarku terbata-bata. Sebenarnya pengakuan Makken yang cukup singkat dan tegas sudah cukup untuk diriku. Tapi kalau memikirkan keseriusan tersebut secara luas, masih ada satu hal yang harus kupastikan. “….kalau kau berniat untuk serius denganku, kau harus berjanji bahwa kau akan menyayangi keluargaku sebagaimana kau menyayangiku… kau harus mau belajar dari orangtuaku, dan mau mendengarkan apa permintaan mereka… karena aku ingin hidup berkeluarga, bukan hanya antara kau dan aku…”

 

“Aku mengerti…”

 

“Kalau kau memang menyanggupi permintaanku, silahkan datang menemui Papa…”

 

 

 

❀❀❀❀❀ (Decisions To Be Made / TBC)

Published by: ちなつ

ただただファンフィクションづくりが好きな人です。 日本人ではないからたまに練習台として日本語でファンフィクションを書いてます。 嵐好き。 相葉君は嵐が知る前から私がずっと理想としていた将来の相手です(笑) でも、櫻井君の方が現実的なんだなって思った。誉め言葉ですよ (笑) ニノのお茶目なところはいつも大好き! 大野君の歌声最高すぎ! 松潤とは性格が似てるのよく言われる(苦笑) 最近は松村北斗の虜になった。きゅん!(。・ω・。)ノ♡

Categories Decisions To Be Made, FANFIC, OC, , 新田真剣佑Leave a comment

Leave a comment